SEKILAS TENTANG PARADIGMA MASYARAKAT TERHADAP PAJAK

*Ehm,, gw mo nulis yang AGAK penting neii..*

Salah satu bentuk perubahan yang cukup mendasar dalam sistem perpajakan di Indonesia akibat Tax Reform 1983 adalah perubahan dari official assessment system menjadi self assessment system sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan.

Dalam official assessment system aparatur perpajakan menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan. Sebaliknya, pada self assessment system wajib pajak diberikan kepercayaan untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor dan melaporkan pajak yang terutang. Artinya masyarakat yang telah memenuhi syarat subjektif (lahir dan tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia lebih dari 18 hari dalam 12 bulan) dan objektif (memperoleh penghasilan dari indonesia) sebagi wajib pajak, dengan kesadaran sendiri harus sudah melaksanakan kewajiban perpajakannya mulai dari mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak sampai dengan melaporkan kewajiban pajaknya ke Kantor Pelayanan Pajak setempat.

Namun, sudah menjadi fenomena umum bahwa masyarakat (termasuk pelaku bisnis) pada dasarnya masih berupaya menghindari pajak. Bahkan, kalau bisa tidak membayar pajak atau tidak terdaftar sebagai wajib pajak, atau tidak berhubungan dengan pajak sama sekali.

Secara ekonomis fenomena tersebut bisa dimaklumi mengingat masyarakat yang telah bersusah payah mendapatkan penghasilan, harus menyerahkan sebagian penghasilannya tanpa pamrih ke negara melalui pembayaran pajak tanpa memperoleh imbalan secara langsung. Beda dengan retribusi yang walaupun masyarakat harus merelakan sebagian pendapatannya tetapi mendapatkan balas jasa secara langsung.

Namun, pajak tidak bisa dihitung secara ekonomis, pajak hanya bisa dihitung dengan aspek social dimana kepedulian kita kepada sesama-lah yang mendasarinya. Bahwa pajak yang dibayar oleh seseorang di Jakarta, misalnya, sebuah kota dengan potensi perpajakan yang sangat besar, tidak hanya akan dinikmati di Jakarta saja, tapi sampai ke pelosok-pelosok nusantara melalui pengadaan public goods and service. That’s really nice, isn’t it?

Sayangnya manfaat sosial yang demikian besar tetap kurang disukai oleh masyarakat. Bahkan masyarakat menjadi merasa dikejar-kejar oleh, apalagi kalau memang ada yang tidak beres dalam laporan pajaknya. Selain itu, tanggapan yang datang pertama kali setiap ada kebijakan atau peraturan baru di bidang perpajakan adalah keluhan dari masyarakat, dibandingkankan dengan bagaimana memandang kebijakan atau peraturan baru tersebut secara positif.

Pajak sendiri secara yuridis telah kuat dasar hukumnya di Indonesia sebagai bagian dari sistem tatanegara dan keuangan negara. Bahwa dengan pajak, negara mengambil sebahagian harta kekayaan masyarakat, yang di Indonesia diamanatkan dalam Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 maupun dalam amandemen perubahan UUD (1999). Negara memiliki hak mendahulu dan pajak bersifat dapat dipaksakan apabila masih ada pajak terutang yang belum dibayar melalui tindakan penagihan pajak.

Tindakan ini dimulai dengan Surat Teguran atau peringatan, Surat Paksa, Penyitaan, hingga pelaksanaan lelang atas barang yang di sita. Selain itu, tindakan penagihan dapat juga dilakukan dengan pencegahan bepergian ke luar negeri, atau bahkan penyanderaan (gijzeling)..

Atas dasar itulah, masyarakat selama ini cenderung memandang pajak hanya sebagai kewajiban dan beban semata. Padahal pajak tidak bisa dilihat dari satu sisi saja, tanpa melihat aspek lain dari pajak secara menyeluruh (comprehensive) sebagai satu kesatuan. Memang kalau dilihat dari segi pembayaran, pajak adalah suatu kewajiban, tetapi kewajiban tersebut pada akhirnya juga digunakan dan dimanfaatkan oleh maasyarakat luas.

Pajak sebagai bagian dari proses sistem keuangan negara mempunyai tujuan yang lebih luas dan hakiki, serta kemanfaatan yang luhur bagi masyarakat luas tanpa terkecuali, termasuk untuk pembayar pajak sendiri.

Masyarakat Indonesia yang tersebar di seluruh nusantara, terutama di pinggiran kota dan pedesaan, sangat membutuhkan dan berhak atas tersedianya berbagai barang dan jasa publik (public goods and services). Misalnya saja, jalan untuk sarana transportasi dan pengembangan ekonomi. Juga peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat di puskesmas, maupun pelayanan pendidikan di sekolah, yang di masa depan dapat diperoleh masyarakat secara gratis. Bahkan untuk penggangguran, bukan tidak mungkin negara bisa memberikan subsidi.

Barang dan jasa serta subsidi tersebut bisa tersedia, bila negara memiliki dana yang cukup dan memadai yang diantaranya diperoleh dari pajak (kini dalam APBN sekitar 75%).

Sebagai suatu perbandingan, jumlah Wajib Pajak di Indonesia hanya sebesar 2 juta lebih, padahal Indonesia memiliki penduduk sebesar 200 juta lebih. Suatu perbandingan yang sedikit tidak sepadan karena masyarakat yang membutuhkan (seluruh penduduk Indonesia) pajak untuk pengadaan public goods and services, jauh lebih besar dibanding Wajib Pajak yang membayar pajak. APA KATA DUNIA????

Oleh karena itulah paradigma yang menganggap pajak hanya suatu beban harus segera dihilangkan. Pertama, melalui perubahan paradigma dalam memandang pajak, bahwa pajak sebagai hak. Masih banyak masyarakat terutama kelompok menengah ke bawah (mungkin juga kita sendiri yang membayar pajak) yang membutuhkan berbagai public goods and services. Hanya negaralah yang dapat menyediakan keseluruhannya, dan sumber pengadaannya tidak lain dan terutama berasal dari pajak.

Kedua, bahwa dengan membayar pajak, secara ekonomi berarti sebenarnya kita telah masuk dalam jajaran dalam kelompok yang lebih mampu. Hal tersebut membuat kita mendapatkan suatu prestise tersendiri. Karena sesuai dengan aturan, sistem dan mekanismenya, tidak semua masyarakat tergolong sebagai pembayar pajak. Di samping itu, pembayaran pajak di sini juga sebagai bukti kepedulian terhadap sesama.

Terakhir, dengan memanfaatkan manajemen perpajakan secara optimal. Melalui aturan yang ada sebenarnya masih ada peluang bahwa pajak yang terutang atau pajak yang harus dibayar, jumlahnya bisa minimal. Ini dilakukan baik melalui tax planning sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maupun melalui pengurangan atau surat keterangan bebas pajak yang dikeluarkan Kantor Pelayanan Pajak melalui permohonan Wajib Pajak.

Dengan mengubah paradigma seperti itu, kita tidak merasa dikejar-kejar oleh pajak sehingga hidup menjadi tenang dan nyaman. Adanya pajak yang disembunyikan atau tidak dibayar WP, dan (sementara) tidak diketahui KPP, bukan berarti tidak harus dibayar pajaknya. Dengan adanya masa daluwarsa penetapan pajak dan penagihan pajak selama 5 tahun (merujuk pada UU No. 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 28 tahun 2007), lambat laun pajak yang disembunyikan tersebut akan diketahui dan ditagih pula. Bahkan ditambah dengan sanksi administrasi yang jumlahnya tidak sedikit.

Sebuah pepatah Batak mengatakan, Ai Holong Rohangku Tu Ho,, OH BUKAN! Itu ditujukan hanya untuk Bullu! Hatop Adong Naniaduna, Leleng Adong Pinaimana (Cepat Ada Yang Dikejar, Lama Ada Yang Ditunggu). Bahwa dengan sistem dan teknologi informasi pajak yang modern, serta bank data yang terus dikembangkan oleh Ditjen Pajak, semua transaksi yang ada akan makin mengemuka dan diketahui.

Satu lagi, pesan yang harus diingat oleh setiap Wajib Pajak:

so,, LUNASI PAJAKNYA, AWASI PENGGUNAANNYA!

PS: Kalau ada yang pengen tau arti pepatah batak yang pertama, hubungi saya.. hehe..

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments

0 komentar:

Posting Komentar